Sebelum
saya menceritakan tentang sosok menarik Fadel Muhammad dalam post ini,
saya ingin memberikan overview sedikit tentang penulisnya,
Rhenald Kasali.
Siapa yang tidak kenal dengan sosok profesor ekonomi yang satu ini?
Hem, saya yakin sebagian besar dari Anda pasti sudah pernah kenal atau
minimal pernah dengar nama ini, benar?
Saya beruntung dalam
sebuah kesempatan pernah bertemu dengan Rhenald Kasali sewaktu awal
tahun 2009 lalu beliau diundang jadi pembicara di perusahaan saya. Saya
beruntung jadi tahu dan mengenal sosok beliau dengan lebih dekat, sama
seperti saya akhirnya bisa mengenal sosok
Hendrik Lim, MBA
yang pernah juga awal tahun 2011 diundang perusahaan saya. Dan siapa
sangka akhirnya saya berjumpa dengan beliau (Hendrik Lim, MBA) lagi
secara lebih personal melalui blog ini meski untuk saat ini baru dari
dunia maya.
Mudah-mudahan suatu saat saya pun bisa berjumpa
kembali dengan Pak Rhenald Kasali sama seperti rencana dalam waktu dekat
ini saya akan bertemu kembali dengan Pak Hendrik Lim, MBA.
Setiap
kali saya membaca tulisan-tulisan Rhenald Kasali yang banyak tersebar
di media, saya seperti sedang mendengar gaya bertutur beliau saat
berbicara di depan kami dua tahun yang lalu. Dan yang paling berkesan
adalah bagaimana sikap dan pandangan-pandangan beliau tentang kebijakan
ekonomi yang ada di negeri ini. Opininya bernas, kritiknya tajam namun
elegan karena penuh dengan sodoran contoh-contoh fakta, sangat sulit
terbantahkan.
Saya melihat sosok Rhenald Kasali lebih pas sebagai
seorang praktisi ekonomi ketimbang sosok akedemisi meskipun beliau
seorang dosen, profesor dan guru besar Fakultas Ekonomi UI. Itu
kesimpulan saya yang awam dan masih dangkal ilmu ekonominya.
Nah, kali ini saya akan sharing tulisan beliau yang dimuat di Koran
Seputar Indonesia
hari Kamis, 27 October 2011. Sengaja artikelnya saya kutip ke blog ini
sebagai penebus kesalahan saya akibat kemarin telah beropini salah. Saya
salah karena telah mengkritik Fadel Muhammad di artikel ini “
Ada Saatnya Anda Harus Pergi Lengser”. Saya mengkritik Fadel tidak
legowo
menerima resuffle kabinet, padahal Fadel-lah orang yang sebetulnya
paling pantas untuk dipertahankan sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan
di kabinet SBY.
Mengapa Fadel Muhammad sampai dicopot? Baca dan temukan jawabannya di tulisan Rhenald Kasali di bawah ini.
***
Fadel MuhammadOleh: Rhenald Kasali
Secara
pribadi saya tidak mengenalnya, bahkan bertemu saja baru satu kali. Itu
pun di sebuah forum resmi, dalam diskusi tentang ekonomi kelautan yang
diselenggarakan Radio Smart FM di Medan beberapa bulan lalu.
Namun,
sejak Indonesia kehilangan Jusuf Kalla sebagai ”pendobrak” dan
”penggerak” ekonomi yang tidak pernah diam dalam ide, saya menemukan
sosok ”bergerak” pada Fadel Muhammad. Selain tangannya dingin, kakinya
ringan bergerak. Seperti yang sering saya katakan kepada para ekonom
muda, ekonomi Indonesia ini bukannya kereta api otomatis yang cuma butuh
jari untuk dijalankan.
Ekonomi kita adalah sebuah kapal besar
yang tak akan bergerak kalau hanya dipikirkan. Ekonomi kita butuh a real
entrepreneur yang piawai menggerakkan, melakukan breaktrough dan siap
berperang melawan para mafioso. Jadi, pemimpin seperti inilah yang kita
butuhkan, bukan harus dikurangi, tetapi perlu diperbanyak. Sayang kalau
kita mengabaikannya.
Berperang Melawan BelengguFadel
mengagetkan kita saat dia maju berperang melawan ”beruang-beruang
ekonomi” yang memaksa Indonesia melakukan impor komoditas tradisional
yang banyak dikonsumsi rakyat. ”Beruang-beruang” itu tidak hanya
memasukkan barang, melainkan juga menyodorkan data-data yang sudah
dipoles yang seakan- akan kita sudah kekurangan segala komoditas dari
beras, daging sapi,sampai garam, dan bawang merah. Pokoknya semua kurang
dan mengancam inflasi.
Lalu apalagi kalau bukan harus impor?
Kita melihat Fadel maju ke depan membongkar kontainer-kontainer berisi
ikan kembung yang diselundupkan ke pasar Indonesia. Bukan cuma ikan
kembung. Ternyata ikan lele dari Malaysia yang sangat mudah
dikembangbiakkan di sini juga membanjiri pasar domestik melalui
perbatasan Kalimantan, Pelabuhan Belawan, dan pelabuhan-pelabuhan
penting lainnya.
Dari ikan kembung dia bergerak menyelamatkan
industri garam rakyat yang bertahun-tahun digempur para importir bangsa
sendiri. Impor-impor seperti itu jelas sangat berbahaya bagi masa depan
bangsa ini.Harga impornya boleh sangat murah, dipasarkan dengan dumping
atau tidak, tetapi perlahan-lahan mematikan ekonomi rakyat yang tersebar
di seluruh pesisir Nusantara.
Setelah pertanian terpuruk, kini
petambak garam pun dibunuh bangsa sendiri. Fadel-lah yang menuntut agar
harga dasar garam rakyat dinaikkan. ”Kalau petambak hanya menerima Rp325
per kilogram, bagaimana mereka bisa hidup?”gugatnya. Dia pun
mengusulkan agar dinaikkan menjadi Rp900. Petambak garam tentu senang
dan mereka bisa kembali bekerja.
Tetapi kabar itu tak berlangsung
lama karena kita mendengar Kementerian Perdagangan hanya mau menaikkan
sampai ke Rp700. Itu pun beredar kabar ada saja pejabat—yang berdalih
atas nama pasar bebas—tak mau tanda tangan. Petambak bisa jadi senang
kepada Fadel, tetapi importir dan pemberi lisensi impor belum tentu.
Petambak Garam
Kalau
petambak garam dimanjakan Presiden, mereka bisa kembali menyekolahkan
anak-anaknya dan makannya bisa lebih terasa enak.Mereka akan giat
berproduksi dan impor garam akan hilang. Apakah benar inflasi akan
terjadi hanya karena harga garam naik? Beberapa orang meragukannya,
pasalnya harga dari petani yang rendah tidak menjamin harga kepada
konsumen ikut rendah.
Bahkan impor murah sekalipun hanya menjadi
alasan bagi importir untuk menguasai pasar.Harga akhir yang dibayar
konsumen pun tetap saja tinggi. Lantas kalau harga dasar petambak
dinaikkan, bagaimana nasib importir? Tentu mereka tidak tinggal diam.
Menteri Perdagangan—atas nama perjanjian dagang yang dipayungi WTO—dan
kita semua yang pernah belajar teori ekonomi, boleh saja percaya pada
kompetisi dan pasar bebas.
Tetapi secara moralitas,tak ada bangsa
yang secara tulus dan ikhlas membuka pasarnya secara bebas, murni 100%.
Hanya bangsa yang bodohlah yang membiarkan pintunya dibuka lebar-lebar
dan membiarkan ”beruang-beruang ekonomi” menari-nari memorak- porandakan
pasar domestiknya.
Sementara pasar timbal-baliknya dibarikade
dengan standar dan peraturan-peraturan yang tidak bisa ditembus. Anda
tentu masih ingat betapa sulitnya produk-produk kelautan kita menembus
pasar Amerika dan Eropa. Ketika Indonesia membuka pasar perbankan begitu
leluasa bagi bank-bank asing, misalnya, Bank Mandiri kesulitan membuka
satu saja cabangnya di Kuala Lumpur.
Apalagi membuka cabang dan
jaringan ATM. Di Eropa kita juga melihat betapa sengitnya bangsa-bangsa
yang percaya pada pasar bebas membuka pasar industri keju lokalnya dari
gempuran keju buatan Kraft yang diproduksi secara massal. Di Amerika
Serikat masih dalam ingatan kita pula, barikade diberikan kepada China
saat CNOOC (China National Offshore Oil Corporation) berencana membeli
perusahaan minyak Amerika (UNOCAL).
Sejumlah anggota kongres
menekan Presiden Bush (2005) agar pemerintah membatalkan proposal China
tersebut. Keju,minyak,udang,kopi,kertas, minyak sawit, atau tekstil
sekalipun selalu dihadang masuk kalau industri suatu bangsa terancam.
Jadi apa yang terjadi dengan lisensi impor di negeri ini? Sebuah
keluguan atau kesengajaan? Bisakah kita memisahkan perdagangan dari
pertahanan dan keamanan kalau wujudnya sudah mengancam kehidupan? Siapa
peduli?
Pro-PoorMaka sangat mengejutkan
saat pekan lalu kita membaca Fadel Muhammad tidak lagi menjalankan
tugas negara sebagai menteri kelautan dan perikanan. Sebagai warga
negara kita mungkin terlalu rewel untuk mempersoalkan pencopotannya
sebab semua itu adalah hak Presiden. Tetapi bagi seorang yang
menjalankan misi Presiden yang pro poor–pro growth dan pro job, saya
kira pantas kalau nada sesal layak kita ungkapkan.
Dia justru
diganti karena membela kepentingan rakyat, pro-poor. Ibaratnya dia
tengah berada di garis depan melawan ”beruang-beruang ekonomi” yang
hanya memikirkan keuntungan sesaat dengan ”membeli” lisensi impor yang
mematikan hak hidup rakyat jelata. Saya sebut mereka ”beruang
ekonomi”karena seperti yang dikatakan Fadel, sesendok garam itu
asin,tapi sekapal garam adalah manis.
Hanya beruanglah yang mampu
mengendus rasa manis itu. Tahukah ”beruang-beruang ekonomi”itu bahwa
petambak-petambak garam dan nelayan adalah penjaga perbatasan yang
melindungi negeri dari segala serangan. Apa jadinya negeri ini bila
hidup mereka dilupakan?
Bukankah lebih baik menjaga pertahanan
perbatasan dengan memberikan kapal-kapal yang bagus dan pekerjaan yang
menarik kepada para nelayan daripada membeli kapal perang yang tak
pernah cukup untuk menjaga bibir-bibir pantai yang begitu luas?
Maka
yang mengejutkan publik sebenarnya adalah mengapa bukan ucapan terima
kasih dan bintang yang disematkan pada Fadel; melainkan serangkaian
ucapan defensif dari kelompok-kelompok tertentu?
Karena itu,
melalui tulisan ini, saya justru ingin memberi motivasi yang tulus agar
Fadel Muhammad tidak berhenti sampai di sini,melainkan terus berkarya
bagi kaum papa, petani-petani garam, dan para nelayan yang ”kalah” bukan
dari persaingan bebas, melainkan dari ”beruang-beruang ekonomi”yang
menjual negeri melalui lisensi impor.
Seorang pemimpin sejati
tidak memimpin hanya karena dipanggil tugas.Pemimpin sejati bertugas
karena panggilan. Saya senang membaca berita bahwa Fadel telah kembali
bekerja dengan Yayasan Garamnya. Selamat bergabung di sektor ketiga.
Inilah sektor kemandirian yang bekerja murni untuk memberantas
kemiskinan.
Inilah sektor non-APBN yang memanggil orang-orang
yang mau berjuang tanpa pamrih. Asosiasi Kewirausahaan Sosial yang saya
pimpin tentu senang menyambut Fadel.Saya percaya Fadel pasti bisa
berbuat lebih besar karena dia punya kekuatan perubahan yang justru tak
dimiliki politisi lain. Simpati besar dari rakyat untuk Fadel layak kita
sematkan. RHENALD KASALI Ketua Program MM UI